Sudah tidak asing lagi bagi umat islam
tentang kisah nabi Ismail. Cerita Nabi Ismail menjadi latar belakang
diperintahkannya ibadah kurban yang dilaksanakan pada setiap hari raya Idul Adha.
Nabi Ismail yang sudah lama tidak bertemu dengan sang ayah dengan ikhlas
menyerahkan dirinya untuk disembelih hanya karena satu alasan yaitu semua atas
perintah Allah. Namun Allah Sang Maha Pengasih menggantinya dengan kambing.
Melihat kisah ini tentu banyak pelajaran
yang terkandung di dalamnya. Selain keikhlasan seorang anak yang taat akan
perintah orang tuanya tentu ada pembelajaran lain. Bagaimana cara seorang Ibu
mendidik sehingga bisa berhasil menjadikan anaknya seorang yang soleh dan taat?
Pada artikel ini kita akan membahas tentang momentum membaca dan perjalanan
seorang Siti Hajar ibunda Nabi Ismail dalam berjuang membesarkan anaknya.
Siti Hajar adalah istri dari Nabi Ibrahim.
Nabi Ibrahim yang telah lama menantikan seorang anak akhirnya memperoleh
keturunan dari Siti Hajar yaitu Nabi Ismail Alaihisalam. Setelah lahirnya Nabi
Ismail turunlah perintah Allah agar Siti Hajar dan Nabi Ismail pindah ke
Mekkah. Diantarkanlah Siti Hajar dan Nabi Ismail oleh Nabi Ibrahim ke Mekah.
Ternyata Nabi Ibrahim hanya mengantrakan saja, tidak ikut tinggal bersama Siti
Hajar dan Nabi Ismail.
Tinggallah Siti Hajar dan Nabi Ismail
yang masih bayi di Mekkah. Jangan dibayangkan kota Mekkah yang seperti
sekarang. Pada saat itu Mekkah adalah wilayah yang kering tidak ada tumbuhan,
bahakan mencari air pun susah. Siti Hajar harus berjuang seorang diri mencari
air ketika Nabi Ismail menangis kehausan. Siti Hajar berlari dari Bukit Sofa ke
Marwah hingga sembilan kali, ternyata munculnya mata air dari tanah yang
dihentak-hentak sang bayi karena menangis. Hingga sekarang mata air itu masih
terus mengalir dan dikenal dengan air jamjam. Peristiwa perjuangan Siti Hajar itu kini menjadi salah
satu ibadah ketika menunaikan ibadah haji.
Tentu bukan hal yang mudah perjuangan
seorang Siti Hajar sebagai seorang Ibu untuk anaknya. Hal ini menjadi pelajaran
bagi para ibu untuk meneladani kesabaran dan semangat perjuangan dari seorang
Siti Hajar. Bahkan lebih ditekankan lagi untuk para Ibu tunggal yang
ditinggalkan oleh suaminya, baik itu karena terpisahkan oleh tempat kerja yang
jauh ataupun oleh sebuah perpisahan.
Membesarkan dan mendidik anak seorang
diri bukanlah hal yang mudah. Banyak cobaan yang harus dihadapi dan
diselesaikan oleh seorang diri. Perlu kekuatan yang muncul dari diri sendiri
untuk mampu menjalankannya. Di balik semua itu ada hal yang paling mendasar
untuk meyakinkan diri sehingga mampu menjalani segala cobaan hidup. Hal itu
adalah sebuah prinsip dalam diri sendiri. Prinsip tentang sebuah kepercayaan dan
keyakinan.
Percaya
atau tidak bahwa sebuah keyakinan dan ketaan akan menjadi kekuatan dalam
menjalani kehidupan. Seperti yang dialami oleh Siti Hajar, dalam peristiwa ini
beliau sangat percaya terhadap suaminya, yakin akan pertolongan Allah dan
keyakinan itu mejelma menjadi sebuah ketaatan serta keikhlasan. Keikhlasan yang
menjadi salah satu sumber kekuatan Siti Hajar.
Keikhlasan yang dimiliki oleh Siti Hajar
yang menurun kepada Nabi Ismail, yang menjadikannya anak yang soleh. Ternyata teladan
dari sorang Ibu sangat berpengaruh pada anaknya. Bukan hanya yang terlihat
tetapi juga rasa hati yang tidak ditampakan.
Kaitan kisah Siti Hajar dengan sebuah
momentum dalam membaca adalah situasi yang sedang terjadi. Masalah yang begitu
besar terkadang dirasakan sangat berat namun ketika melihat kembali pada kisah
orang-orang terdahulu maka kisah mereka lebih berat lagi. Air mata bercucuran
ketika membaca kisah Nabi Ismail pada saat kondisi hati sedang bersedih karena
dirundung masalah. Betapa kuatnya seorang Siti Hajar dalam kondisi yang lebih
sulit dari apa yang terjadi sekarang.
Adakalanya membaca sebuah buku harus
disesuaikan dengan momen sang pembaca. Jika kondisinya tepat maka bacaan
tersebut akan lebih meresap dan bermanfaat.
Add your comment