“Yang tertusuk padamu,
terluka padaku”
(Sutardji Calzoum bachri)
Masih tentang lokakarya
7 yang menyisakan cerita sebagai pembelajaran hidup. Cerita diawali dari sebuah kamar hotel. Acara
lokakarya 7 ketika itu diselenggarakan di hotel Palace- Cianjur. Rangkaian
acara dimulai dengan sesi kelas pada jam 14.00 WIB. Peserta sudah mulai datang
dari pagi hari. Barang bawaan setiap peserta seperti mau pindahan rumah,
walaupun hanya menginap satu malam tapi persiapannya sudah dari satu bulan.
Ternyata tidak semudah
seperti di film untuk memasuki kamar hotel, apalagi ini dalam sebuah acara.
Kami harus menunggu lama untuk sekedar memperoleh kunci kamar. Usut punya usut
panitia pun kewalahan dalam hal pembagian kamar. Terpaksa mereka mengambil opsi
cepat dengan menyediakan dua kamar untuk setiap kelompok dengan alasan agar
barang-barang kami bisa aman di dalam. Sebelum acara dimulai, setiap kelompok
membereskan barangnya ke kamarnya masing-masing.
Di luar dugaan, kamar
yang sebelumnya dibagikan ternyata tidak sesuai dengan catatan yang ada
sehingga harus dirubah. Selesai acara di kelas, sore hari menjelang maghrib
setiap peserta diberi kunci kamar dan dipastikan semuanya sudah kebagian dengan
kaapsitas dua orang perkamar. Ternyata nomer kamarnya berbeda dengan yang
semula. Alhasil, barang bawaan yang seperti mau pindahan rumah itu harus
dipindahkan lagi.
Kami hanya bisa
menghela nafas panjang menerima keputusan yang ada. Sudah seharusnya kami
saling memaklumi karena yakin panitia pun sudah berusaha semaksimal mungkin. Hanya
saja masalah akan selalu ada di luar dugaan manusia.
Betapa kagetnya ketika
memasuki kamar ternyata sudah ada dua
orang bapak-bapak yang akan menempati kamar tersebut. Entah siapa bapak-bapak
itu tapi mereka memberikan kami pelajaran hidup yang sangat berharga.
Di tengah lelahnya kami
yang sudah menunggu dari pagi, mempersiapkan barang-barang sejak kemarin, dan
menjalani kelas, masih harus memindahkan barang. Dengan santainya dua orang
Bapak tadi tidur sambil memainkan HP di atas kasur yang empuk tanpa mempedulikan
kami yang lalu-lalang mengeluarkan barang-barang. Hanya orang buta hati yang
tidak bisa menilai kalau melihat kejadian itu bukan suatu masalah moral.
Empati, itu mungkin
salah satu yang tidak dimiliki Bapak-bapak tadi. Entah apa yang ada dipikiran
mereka karena kami bukan seorang paranormal yang bisa menebak, tapi minimal ada
ucapan pada kami kalau kata orang sunda sasadu. Secara etika mereka juga sudah
tidak sopan karena masuk kamar tanpa izin walaupun itu sudah menjadi hak nya,
setidaknya memberikan kami waktu untuk mengeluarkan barang sebelum mereka
masuk.
Jika saja ada barang
kami yang hilang tentu siapa lagi yang akan disalahkan kalau bukan mereka.
Untung saja itu tidak terjadi maka mereka selamat dari gugatan emak-emak
hahaha. Hanya saja tetap mereka jadi trending topik pembicaraan di kelompok
kami. Hal yang paling kami garis bawahi adalah pelajaran dari pendidikan guru
penggerak belum tercermin dalam pribadi bapak-bapak tadi maka kami bertekad
untuk menerapkan segala pemebelajaran pada diri sendiri terlebih dahulu sebelum
ke orang lain apalagi murid.
Sebuah ungkapan bahwa
pengalaman adalah guru terbaik sangat benar adanya. Hal pertama yang harus
diterapkan adalah ilmu dari program pendidikan guru penggerak bukan hanya untuk
dipahami dan diterapkan pada murid tapi praktekanlah dulu pada diri sendiri.
Pada saat itu juga kami
sudah mencoba menerapkannya. Salah satunya teknik pengendalian diri yang
dipelajari di modul 2.2 tentang pembelajaran sosial emosional. Kami berusaha
sewaras mungkin mencoba untuk tidak marah pada mereka. Walaupun menyisakan rasa
kesal pada diri kami yang mengalaminya pada saat itu. hanya saja mohon maaf jika
kisah itu diangkat dalam cerita ini, semata-mata kami hanya saling mengingatkan
tentang makna ilmu yang telah diperoleh.
betul bu awali dengan diri sendiri, semangat.semangat
BalasHapusSemangat juga BU.
BalasHapusSemangat terus
BalasHapus